MK Tegaskan Independensi LPS dalam UU PPSK

MK Tegaskan Independensi LPS dalam UU PPSK

Mahkamah Konstitusi telah mengonfirmasi independensi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dengan memberikan penafsiran baru terhadap beberapa frasa yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK). “Kami menerima sebagian dari permohonan para pemohon,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan Nomor 85/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, pada hari Jumat. MK menyatakan bahwa frasa “untuk mendapat persetujuan” dalam Pasal 86 ayat (4), frasa “Menteri Keuangan memberikan persetujuan” dalam ayat (6), dan frasa “yang telah mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan” dalam ayat (7) Pasal 7 angka 57 UU PPSK tidak sesuai konstitusi, kecuali jika dimaknai sebagai “persetujuan DPR”.

“Perubahan ini akan berlaku setelah pembuat undang-undang melakukan perubahan dalam waktu maksimal dua tahun sejak putusan diucapkan,” tambah Suhartoyo. Pasal tersebut mengatur tentang penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) untuk kegiatan operasional LPS. Mahkamah mengabulkan permohonan ini untuk menjaga independensi LPS dari campur tangan institusi lain, khususnya Menteri Keuangan.

Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, MK menilai bahwa meskipun perlu adanya peran atau keterlibatan Menteri Keuangan dalam penyusunan RKAT, namun tidak tepat jika keterlibatan tersebut berupa persetujuan karena dapat mengurangi independensi LPS dalam pengambilan keputusan. MK berpendapat bahwa penyusunan RKAT operasional LPS seharusnya melalui persetujuan DPR. Hal ini sesuai dengan tujuan UU PPSK untuk menjamin independensi LPS, namun tetap dengan prinsip pemeriksaan dan pengawasan dari DPR yang memiliki fungsi anggaran dan pengawasan secara konstitusional.

MK yakin bahwa dengan adanya persetujuan DPR terhadap RKAT operasional LPS, hal ini akan menciptakan perlakuan yang sama dengan lembaga sektor keuangan lainnya, seperti Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. Namun demikian, Mahkamah tidak langsung menyatakan bahwa frasa-frasa dalam Pasal 86 ayat (4), ayat (6), dan ayat (7) huruf a dalam Pasal 7 angka 57 UU PPSK tidak sesuai konstitusi, karena masalah RKAT operasional LPS terkait dengan tahapan lainnya.

Oleh karena itu, MK meminta agar pembuat undang-undang melakukan sinkronisasi dan harmonisasi dengan isi norma-norma dalam UU PPSK yang berkaitan dengan RKAT LPS. “Mahkamah memberikan waktu selama dua tahun sejak putusan diucapkan kepada pembuat undang-undang untuk segera melakukan perubahan norma terkait keharusan persetujuan Menteri Keuangan dalam penyusunan RKAT operasional LPS menjadi persetujuan DPR,” kata Enny.

Permohonan ini diajukan oleh Giri Ahmad Taufik, Wicaksana Dramanda yang merupakan dosen, serta Mario Angkawidjaja yang merupakan mahasiswa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *