Jaksa memanggil mantan Wakil Kepala Divisi P2P PT Timah Tbk, Riki Fernandes Simanjuntak, sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan timah. Hakim pun menanyakan kepada Riki tentang tindakan yang diambil oleh direksi PT Timah ketika mengetahui adanya penambang ilegal di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) mereka. Riki menjadi saksi untuk terdakwa Helena Lim, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani selaku mantan Direktur Utama PT Timah Tbk, Emil Ermindra selaku mantan Direktur Keuangan PT Timah Tbk, dan MB Gunawan selaku Direktur Utama PT Stanindo Inti Perkasa.
Pada awalnya, jaksa menanyakan kepada Riki mengenai kerja sama jasa kemitraan PT Timah. Riki menjelaskan bahwa mitra dari PT Timah mengumpulkan bijih timah dari penambang lain, dan hal ini sudah diketahui oleh direksi PT Timah. Kemudian, hakim juga menanyakan tindakan yang diambil oleh direksi PT Timah terkait penambang liar di wilayah IUP mereka.
Riki mengungkapkan bahwa ada banyak penambang ilegal di wilayah IUP PT Timah, dan direksi PT Timah mengetahui kondisi tersebut. Selain itu, Riki juga menyebut bahwa ada penambangan ilegal yang dilakukan oleh pihak lain di wilayah IUP PT Timah. Menurutnya, lebih banyak penambang ilegal dibandingkan dengan penambang yang bekerja melalui mitra PT Timah.
Jaksa juga menanyakan tentang laporan operasi PT Timah, dimana Riki menyatakan bahwa data ekspor logam timah dari PT Timah lebih kecil dibandingkan dengan smelter swasta. Riki juga mengungkapkan bahwa penambangan ilegal memiliki dampak negatif terhadap lingkungan hidup dan data sumber daya serta cadangan PT Timah.
Riki menjelaskan bahwa penambang ilegal tidak melakukan pemulihan wilayah setelah penambangan, dan PT Timah hanya melakukan pemulihan di lokasi penambangan oleh mitra. Selain itu, Riki juga menyebut bahwa PT Timah tidak mengalokasikan anggaran untuk menanggulangi kondisi penambangan ilegal yang dilakukan di luar mitra.
Selain itu, Riki juga mengungkapkan adanya perhatian khusus untuk CV Salsabila Utama yang menjadi mitra PT Timah. Namun, Riki mengaku tidak mengetahui detail perhatian tersebut. Berdasarkan surat dakwaan jaksa, kerugian keuangan negara akibat pengelolaan timah dalam kasus ini mencapai Rp 300 triliun.
Dalam pembacaan dakwaan, jaksa menyebut bahwa kerugian keuangan negara sebesar Rp 300 triliun disebabkan oleh tindakan korupsi dalam pengelolaan timah. Kasus ini sangat serius dan menunjukkan dampak yang besar bagi negara.
Dengan demikian, kasus ini menunjukkan pentingnya penegakan hukum dan transparansi dalam pengelolaan sumber daya alam. Semua pihak harus bertanggung jawab atas tindakan mereka, dan korupsi harus ditindak tegas demi keadilan dan keberlanjutan lingkungan hidup.