Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengakui bahwa ada kebutuhan untuk menyesuaikan besaran bea keluar (BK) dan pungutan ekspor (PE) di tengah situasi melemahnya permintaan minyak sawit (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya. Menurut Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Isy Karim, usulan dari para pengusaha kelapa sawit terkait penyesuaian BK dan PE produk minyak sawit sedang dalam tahap evaluasi oleh pemerintah. Penyesuaian ini merupakan langkah yang diambil pemerintah untuk meningkatkan daya saing minyak sawit di pasar global serta memastikan program replanting sawit rakyat dan B35 dapat berjalan dengan lancar.
Isy menyatakan bahwa saat ini sedang dilakukan proses peninjauan dan pembahasan di kementerian/lembaga terkait untuk menentukan penyesuaian besaran BK dan penurunan tarif PE. Dia juga mendukung penetapan besaran BK dan PE yang lebih dinamis, yang akan disesuaikan dengan harga CPO dan minyak nabati di pasar global. Menurutnya, jika harga CPO lebih tinggi dari harga minyak nabati lainnya, maka besaran BK dan PE akan diturunkan. Sebaliknya, jika harga CPO dan produk turunannya lebih rendah dari harga minyak nabati lainnya di pasar global, maka BK dan PE akan dinaikkan.
Isy juga menyebutkan bahwa kenaikan harga eceran tertinggi (HET) domestic market obligation (DMO) MinyaKita menjadi Rp15.700 per liter dalam Permendag No.18/2024 dapat membantu mengurangi biaya ekspor bagi produsen minyak sawit. Dia menjelaskan bahwa penyesuaian HET untuk Minyakita dari Rp 14.000 per liter menjadi Rp 15.700 per liter secara tidak langsung akan membantu mengurangi biaya ekspor karena setiap eksportasi memerlukan DMO Minyakita.
Menurut Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono, kondisi perekonomian global yang belum pulih telah berdampak pada penurunan permintaan minyak sawit. Persaingan harga dengan minyak nabati lainnya yang semakin ketat membuat CPO Indonesia semakin tertekan. Bahkan, harga minyak biji bunga matahari saat ini lebih murah dibandingkan minyak sawit, sehingga konsumen yang biasanya menjadi importir terbesar CPO Indonesia beralih ke minyak nabati lainnya.
Eddy mengusulkan beberapa strategi kepada pemerintah untuk meningkatkan ekspor CPO dan produk turunannya. Salah satunya adalah penyesuaian instrumen pungutan ekspor (PE), bea keluar (BK), dan domestic market obligation (DMO) minyak goreng. Dengan penyesuaian tersebut, Eddy yakin bahwa harga minyak sawit Indonesia akan lebih kompetitif dibandingkan minyak nabati lainnya.
Pemerintah telah menetapkan harga referensi CPO pada Agustus 2024 sebesar US$820,11 per ton dengan besaran PE US$85 per ton dan BK US$33 per ton. Namun, nilai ekspor CPO pada Juli 2024 mengalami penurunan baik secara bulanan maupun tahunan. Total volume ekspor CPO dan produk turunannya juga menurun pada Juli 2024. Meskipun harga CPO dan produk turunannya di tingkat global mengalami kenaikan pada bulan yang sama.
Dengan adanya penyesuaian besaran BK dan PE serta instrumen lainnya, diharapkan ekspor CPO dan produk turunannya dapat meningkat kembali dan memperkuat posisi minyak sawit Indonesia di pasar global. Semoga langkah-langkah ini dapat membantu industri minyak sawit untuk tetap bersaing dan berkembang di tengah tantangan ekonomi global yang tidak pasti.